gambar diambil dari : https://geotimes.co.id/opini/permainan-politik-bocah/ |
Sejak SD sepertinya, saat itu ada salah satu saudara
yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif salah diusung salah satu parpol,
yang mana saat itu apa yang saya lihat ya politik itu soal bagaimana memberikan
bantuan kepada masyarakat secara langsung. Bakti sosial sana sini, sembako
gratis sana sini,pengajuan proposal pengaspalan jalan mudah dsb. Di mata saya
yang masih di bangku sekolah dasar saat itu hal tersebut sangat mulia, karena
saya belum tau ternyata itu ya selama kampanye aja. Pandangan saya soal politik
yang bersih dan mulia seperti ini bertahan sampai di bangku SMK. Sampai suatu
saat kepala sekolah menanyakan mau kuliah jurusan apa dan dengan lantang saya
jawab “FISIP Pak”. Dan sang kepsek
pun menghela nafas dan berkata “emang
ndak ada pilihan lain apa mbak? Politik itu menjengkelkan lho”.
Idealisme saya masih sangat tinggi saat itu, sehingga
masih sempat bercita – cita menjadi seorang politisi. Dan pandangan tersebut
masih berlanjut sampai masuk dunia kerja. Sampai suatu ketika muncul fenomena
Jokowi, figur yang suka atau tidak suka harus kita akui bahwa beliau ini
memeberikan warna baru di peta politik Indonesia. Apa yang terjadi pada saya
saat itu? Ya… fanatisme berlebihan. Sampai ketika Jokowi maju di pilgub DKI,
saya yang di Boyolali ikut mengkampanyekan beliau. Saya hubungi keluarga di
Jakarta untuk memilih beliau. Penghitungan quick count, saya sampai rela
begadang saat itu, yang pilihan di DKI euforianya sampai pelosok desa saya di
Boyolali. Ini fenomena yang di luar dugaan kita tentunya, Sampai titik awal
saya menjadi seolah membabi buta sebagai pemilih pemula, saat Jokowi maju
pilpres 2014. Bayangkan, saking gilanya saya, saya sampai ikut nyumbang ke
rekening kampanyenya. Masuk akal? Tidak!! Kenapa saya katakan tidak masuk akal?
saya ndak dapat apa – apa je. Kalah
sama FR yang dapet kursi komisaris. Tahun 2014 menjadi tahun permulaan dimana
ketika conversation di grup whatsapp, BBM, sosial media lain
bahkan di arisan, menjadi berubah 180 derajat dari yang menyenangkan menjadi
menegangkan ketika mulai disinggung soal politik. Sampai berantem dengan
suamipun bukan hal yang tabu lagi buat saya karena perbedaan pandangan politik
ini.
Puncaknya di 2016 – 2017, adalah ketika kasus
penistaan agama yang dituduhkan dan akhirnya berhasil memenjarakan Ahok. Di
situ kewarasan saya sebagai rakyat sangat diuji. Emosi saya diaduk – aduk, otak
saya dipaksa untuk bekerja lebih keras karena harus memfilter yang benar dan
yang salah. Dan perdebatan hampir mengarah ke pertengkaran sering terjadi di
tahun ini, Tidak hanya dengan suami,
dengan kakak, dengan HRD di kantor, bahkan dengan orang yang seharusnya tidak
saya ambil pusing soal perkataannya. Apa kira – kira yang membuat saya seolah
diuji kewarasannya saat itu? – Isu agama. Ya, isu agama. Saya sangat
menyayangkan pak Ahok kepleset ketika berpidato dengan mengutip satu ayat di Al
– Quran saat itu, saya tidak yakin beliau berniat atau sengaja memancing reaksi
masyarakat. Tapi keresahan saya lebih terletak pada reaksi sekelompok
masyarakat yang mengatasnamakan diri mereka sebagai pembela agama dan ulama,
melakukan aksi besar – besaran, yang saat itu diklaim mencapai tujuh juta
orang, mereka ini memprotes keras atas apa yang dilakukan oleh Ahok. Apa yang
meresahkan saya? mereka menyebutnya bela islam. Saya perlu menghentikan
aktivitas saya selama beberapa menit untuk sekedar menganalisa dan menarik
kesimpulan dari gejolak ini. Pertanyaan besar saya, “tujuh juta orang ini benar
semuanya bela agama? tidak ditunggangi kepentingan politik praktis?”. Cukup
butuh waktu lama dan berbagi pendapat dengan banyak orang untuk membuat saya
agak tenang menghadapi keresahan saya ini. Pada akhirnya, saya tidak sengaja
mendengarkan ceramah salah satu kyai terkenal di Jawa Tengah, kutipan ceramah beliau
kurang lebih seperti ini “Allah ini ndak
usah diajak kampanye, tidak usah mengatasnamakan diri bela Allah. Kita ini
siapa? Seberapa besar kita ini di hadapan Allah, kok berani – beraninya membela
Allah. Kita tidak sembahyang saja Allah tidak rugi” kira – kira demikian.
Akhirnya saya bisa menarik kesimpulan dari apa yang saya resahkan.
Semakin dewasa, seiring bertambahnya wawasan, memilih
untuk lebih banyak membaca dan lebih terbuka menerima perbedaan, akhirnya saya
mengerti bahwa politik yang ada saat ini adalah politik kepentingan. By design. Apa yang terlihat tidak
seindah apa yang terjadi sesungguhnya. Bayangan saya ketika di bangku sekolah
dasar dulu ya memang ternyata adanya saat ketika pemangku kepentingan ini
sedang berusaha mendapatkan apa yang dia mau. Setelah kepentingan diperoleh ya
kita ndak tau lagi. Apalagi melihat
fenomena yang ada saat ini, mulai Ahok yang menguras emosi saya, hingga
fenomena yang sangat memalukan untuk saya sebagai awam adalah ketika saya harus
melihat drama yang disuguhkan oleh Ratna Sarumpaet. Dalam hati saya mengumpat
“Emang kita ini bego banget apa ya dipikirnya?”. Praktis ini kemudian membuat
saya memilih untuk tidak lagi menjadi sosok yang memiliki fanatisme buta,
kemudian saya menyesali pernah bertengkar hanya karena perbedaan pandangan
politik. It was embarrassed. Tapi
terlepas dari dugaan saya yang dangkal ini, saya yakin masih banyak tokoh
politik yang saya yakin mereka tulus menjadi penyalur aspirasi rakyat sehingga
mewakili rakyatnya untuk mewujudkan sila ke – 5.
Akhirnya sikap saya pada pilpres saat ini, saya tidak
akan lagi ndakik – ndakik membela capres atau caleg manapun. Jika banyak
postingan saya atau kalimat saya mengarah ke salah satu calon presiden ya saya
fikir ini wajar karena faktanya saya berhak sebagai pemilih. Sampean – sampean tidak perlu khawatir
saya akan mengubah pilihan ketika kita sedang berbicara soal politik. Yang saya
lakukan saat ini ketika berbicara tentang politik adalah hanya sekedar
mewujudkan keberhasilan suatu komunikasi. Dimana suatu komunikasi dikatakan
berhasil ketika syarat – syarat terpenuhi. Syaratnya minimum berhasilnya sebuah
komunikasi adalah adanya pesan yang disampaikan, komunikator, media, komunikan
dan umpan bali atau feed back. Akan
jadi tidak etis ketika ada lawan bicara berbicara mengenai politik dan saya
tidak memberikan umpan balik yang menjadi syarat berhasilnya komunikasi. Dan sampean tidak perlu khawatir, saya tidak
akan pernah sekalipun meminta anda untuk menyamakan pilihan suara dengan saya.
Saya mengerti betul bahwa keyakinan tidak boleh dipaksakan dan sekalipun kita
berbeda itu tidak berarti saya benar dan anda salah, pun sebaliknya. Jika kita
satu suara, ini tidak menandakan bahwa kita berada di pihak yang benar. Jangan
ragu jika memang ingin menuduh saya sebagai cebong, karena saya sering dituduh
kaum kiri, dan saya sudah biasa dengan tuduhan itu.
Saya tetap meyakini bahwa pekerjaan yang paling sia –
sia di dunia selain menasehati orang yang sedang jatuh cinta adalah menasehati
pendukung capres.
Jangan khawatir tentang perbedaan, tetap tenang, tetap
nyaman dan jangan lupa ngopi.
Salam
Jakarta, 25 November 2018
Eka Mustikasari, S.Pd*
(gelas kesarjanaan sedang dalam proses)
Eka Mustikasari, S.Pd*
(gelas kesarjanaan sedang dalam proses)
0 Comments