Bp Musta'in Abror, sang guru dari Candikidul |
Siang
menjelang sore, langit tak begitu cerah bahkan kayaknya mau turun hujan. Aku
melangkah di jalan yang menanjak itu, jalan yang biasa kami sebut
"pethung".Tiada orang lain, yang ada hanya aku di sepanjang jalan
itu.
Aku menoleh kearah kiri, kearah mushola kecil yang telah berdiri puluhan tahun di kampung kami. Masih sama, ada “undak-undakan” di depannya dan juga tulisan “batas suci” warna merah yang kusam, dan beberapa sandal jepit yang tak tertata rapi. Di depannya ada beberapa pohon pisang, ada satu yang tengah berbuah. Di bawahnya ada tumpukan sampah dari bersih-bersih tadi pagi.
Ada Pak Mustain disana, memakai sarung kotak-kotak
dan kaos berkerah garis putih dengan peci putih berhias kuning melingkar
berdiri bersandar di tiang, di teras rumah sederhana yang dindingnya terbuat
dari papan yang disusun dengan kaca jendela dan tirai warna merah kusam. Dari
tiang ke tiang yang lain ada beberapa kayu yang disusun sebagai batas dan hiasan.
Pak Mustain tersenyum dan melambaikan tangan kearahku dan akupun melangkah
kearahnya. Tepat didepan mushola aku berhenti, tertunduk dan tersadar, bukankah
beliau telah “pergi” beberapa bulan yang lalu. Aku dongakkan kepala lagi, Aku
lihat beliau sudah tidak ada di teras itu, hanya pintu yang terbuka tanpa siapa-siapa.
Aku menuju pintu yang terbuka tersebut, aku lihat istri beliau tengan bangun dari tidur, ia melihatku tapi diam saja ketika aku menyapa beliau seakan-akan beliau tidak melihatku. Lama beliau melihat kearahku, tatapannya kosong, tatap mata kehilangan. Kemudian dengan gontai beliau melangkah menuju ke dapur. Aku menangis melihat beliau tidak mendenganr suaraku, aku menangis sesenggukan sambil melihat pintu dan karpet lantai rumah itu, aku panggil lagi beliau namun beliau tidak mendengar dan hilang dibalik tirai kearah dapur.
Tiba-tiba aku terbangun, Ya Allah ternyata ini mimpi dan ternyata aku benar-benar menangis. Sampai tulisan ini diupload aku masih menangis bila ingat mimpi ini. Enam kali sudah dari pagi sampai sore ini aku menangis, gemuruh rasanya hati ini. Entahlah…..
Semoga engkau mendapat terbaik di sisi Gusti Allah wahai engkau sang guru.
*Mimpi ini aku
alami 11 Agustus 2018, ba’da Subuh
*Cerita ini
aku tulis di blog ini setelah mendapatkan ijin dari Mas Nur Zaman, selaku anak
beliau
0 Comments