KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya makalah yang berjudul “Kekerasan terhadap Anak” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas untuk mata kuliah Sistem
Hukum Indonesia.
Penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki,
untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
Medan, November 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Anak adalah tumpuan dan harapan
orang tua. Anak jugalah yang akan menjadi penerus bangsa ini. Sedianya, wajib
dilindungi maupun diberikan kasih sayang. Namun fakta berbicara lain. Maraknya
kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat
bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan
keluarga, lingkungan maupun masyarakat dewasa ini.
Pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminas”. Namun apakah pasal
tersebut sudah dilaksanakan dengan benar? Seperti yang kita tahu bahwa
Indonesia masih jauh dari kondisi yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Berbagai jenis kekerasan diterima
oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik, mental maupun pelecehan seksual.
Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki
hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman
sepermainannya sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak, misalnya
menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar ole gurunya sendiri.
Kondisi ini amatlah memprihatinkan,
namun bukan berarti tidak ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat di
lingkungan sekitar anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak
tanpa menggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan
perlindungan serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka
melakukan kekerasan nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini
dipimpin oleh pemimpin bangsa yang tidak menyelesaikan kekerasan terhadap
rakyatnya.
Persoalannya adalah sejauhmana hukum atau
perundang-undangan Indonesia, mengapresiasi terhadap fenomena tersebut,baik
terhadap perbuatan, pelaku maupun anak sebagai korban kekerasan.
BAB II
PERMASALAHAN
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Pengertian Anak Menurut Undang-Undang
2.
Pengertian
kekerasan terhadap anak menurut para ahli
3.
Faktor-faktor
yang memicu kekerasan terhadap anak
4.
Bentuk-bentuk
kekerasan terhadap anak
5.
Dampak
kekerasan terhadap anak
6.
Perlindungan
hukum terhadap anak korban kekerasan
7.
solusi
pencegahan kekerasan terhadap anak
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Pengertian anak menurut UU
Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam pasal 1
nomor 1 bahwa:
“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun danbelum
pernah kawin”.
Pengertian anak menurut UU No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tercantum dalam Pasal I butir I UU No.
23/2002 berbunyi
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni:
Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni:
Pertama, seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian, setiap orang yang telah
melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap,
dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa. Dalam hal ini, tidak
dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin
atau tidak.
Kedua, anak yang masih dalam
kandungan. Jadi, UU No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir
tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan.
Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.
Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.
Hak Dan Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
1. Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara. Hak-hak anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 di antaranya adalah:
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, peng-aniaya-an;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan /atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerassan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya.
1. Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara. Hak-hak anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 di antaranya adalah:
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, peng-aniaya-an;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan /atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerassan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya.
2. Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Kewajiban berasal dari kata dasar “wajib” yang artinya harus melakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Mendapat awalan ke- dan akhiran -an, menjadi kewajiban yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban anak adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang anak.
Di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 adalah:
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan Negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Kewajiban Orang Tua Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan kewajibannya. Orangtua tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki kewajiban yang harus ia laksanakan. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 terdapat kewajiban orangtua yaitu tercantum dalam pasal 26 yang berbunyi:
(1) Orang tua berkewajiban dan berytanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban berasal dari kata dasar “wajib” yang artinya harus melakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Mendapat awalan ke- dan akhiran -an, menjadi kewajiban yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban anak adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang anak.
Di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 adalah:
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan Negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Kewajiban Orang Tua Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan kewajibannya. Orangtua tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki kewajiban yang harus ia laksanakan. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 terdapat kewajiban orangtua yaitu tercantum dalam pasal 26 yang berbunyi:
(1) Orang tua berkewajiban dan berytanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.2
Pengertian kekerasan terhadap anak menurut para ahli
Menurut
Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang
lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak
berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang
berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih
bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka
pada tubuh sang anak.
Nadia
(2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik fiisk maupun
psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan
segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan
psikis adalah semua tindakan merendahkan/meremehkan anak.
Lebih
lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap
hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk
mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas hukum.
Sedangkan
Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari
orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala
perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan
dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.
3.3 Faktor faktor Penyebab
Terjadinya Kekerasan terhadap Anak
Ada banyak faktor kenapa terjadi
kekerasan terhadap anak :
· Lemahnya pengawasan orang tua
terhadap anak dalam menonton tv, bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua
menjadi diktator/over protective, namun maraknya kriminalitas di negeri ini
membuat perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
· Anak mengalami cacat tubuh, gangguan
tingkah laku, autisme, terlalu lugu
· Kemiskinan keluarga (banyak anak).
· Keluarga pecah (broken Home) akibat
perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.
· Keluarga yang belum matang secara
psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted
Child)atau anak lahir diluar nikah.
· Pengulangan sejarah kekerasan orang
tua yang dulu sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama
· Kondisi lingkungan yang buruk,
keterbelakangan
· Kesibukan orang tua sehingga anak
menjadi sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak
· Kurangnya pendidikan orang tua
terhadap anak.
3.4. Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
1.Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah
diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical
abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15
tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda
panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini
selain menimbuBlkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban
meninggal
2. Kekerasan secara Verbal
Bentuk kekerasan seperti ini sering
diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan
seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari
kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata
kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi
rendah diri.
3. Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga
sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara
verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan
terendah usia 16-18 tahun
(0.9%)
Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang
membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan
hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya
menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi
pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
4.Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini
biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga,
tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan eksual:
persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan
terendah usia 0-5 tahun
(7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun
pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam,
juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
Berikutnya
hendak dikemukakan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yang ditetapkan
sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Seperti
dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu
kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk bentuk kekerasan terhadap anak
tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal
77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU
Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:
(1)
diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian
materiil
maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);
(2)penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun social
(Pasal 77);
(3)
membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan,
bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal 78);
(4) membiarkan anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anakyang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya
(napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
(5)
pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
(6)melakukan
kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
(7)
melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81)
(8)
melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
(9)
memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk
dijual (Pasal 83);
(10)
melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan
hukum(Pasal 84);
(11)
melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak(Pasal 85);
(12)
melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa
memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak
sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara
melawan hukum (Pasal 85);
(13)
membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau
serangkaian kebohongan (Pasal 86);
(14)
mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain (Pasal 88);
(15)
menempatkan, membiarkan, melibatkan,menuruh melibatkan anak dalam
penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol, dan/atau
zat adiktif lainya (napza) (Pasal89).
3.5
Dampak dari
Kekerasan pada Anak
Dampak
kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh orangtuanya sendiri atau orang lain
sangatlah buruk antara lain:
1. Agresif.
Sikap ini biasa ditujukan anak
kepada pelaku kekerasan. Umumnya ditujukan saat anak merasa tidak ada orang
yang bisa melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidka bisa melindunginya
itu ada disekitarnya, anak akan langsung memukul datau melakukan tindak agresif
terhadap si pelaku. Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah
mengalami tindak kekerasan.
2. Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah
drastis seperti menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa
disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung, pendiam,
dan terlihat kurang ekspresif.
3. Memudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak
merasa tidka nyaman dan aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia
kehilangan figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia
besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.
4. Melakukan tindak kekerasan terhadap
orang lain
Dari semua ini anak dapat melihat
bagaimana orang dewasa memperlakukannya dulu. Ia belajar dari pengalamannya,
kemudian bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.
3.6.Perlindungan hukum terhadap anak
korban kekerasan
Perlindungan anak adalah suatu usaha
yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan
kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk
memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup,
bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya
sendiri atau bersama para pelindungnya. (Arief Gosita, 1996:14).
Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi
menjadi perlindungan langsung dan tidak langsung, dan perlindungan
yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di
antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan
dari sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang
dapat merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan
dari dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial),
pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh),
pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan.(Arief Gosita, 1996:6)
Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain
meliputi: pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak
melalui suatu peraturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat
mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan
anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan
(mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam
pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha
perlindungan anak.(Arief Gosita, 1996:7)
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam
hal bentuk upaya perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek
dari perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung
tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak
langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap
perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.
Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya
perlindungan ini ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para
partisipan yang berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya
pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan tersebut.
Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena
bagaimana mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila
para partisipan yang terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak
terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara
melindungi anak dengan baik.
Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga
dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi
perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan
yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang
kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong, 2000:40)
Upaya
perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat perhatian penguasa,
secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski
perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan
perlidunngan tersebut.
Di samping
adanya perlindungan yang bersifat abstrak (secara tidak langsung) melalui
pemberian sanksi pidana kepada pelaku kekerasan terhadap anak, UU Perlindungan
Anak juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan yang lain terhadap anak
korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.
Kemudian
dalam Pasal 18 disebutkan:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak
pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya”.
Bentuk
perlindungan yang diberikan oleh UU (Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18) hanya berupa
kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan bantuan lain. Hanya sayang, bahwa makna kerahasiaan
tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut.
Kemudian
perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasann Pasal 18, hanya
disebutkan bahwa: “bantuan
lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan
medik,, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.
Dalam Bab
IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk perlidungan
anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam
perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi
anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-71) diatur tentang
perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan
tentang bentuk perlidungan
khusus bagi
anak korban kekerasan.
Dalam
ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang bertanggungjawan
atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban
tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui:
(1) upaya
rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
(2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan menghindari
labelisasi;
(3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban
dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan
(4) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan
informasi mengenai perkembangan perkara.
Kemudian
juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi
dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui:
(1)
penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan perlindungan anak yang
dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
(2)
pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
(3) pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam
penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual.
Pihak yang
bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu
pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh UU ini pada
dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati
oleh korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh
perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.
Adanya
ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga belum menunjukkan
adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, sebab
komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang
yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderiataan anak korban
kekerasan.Pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, khususnya yang
berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui pemberian kompensasi dan/atau
restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan.
Berbagai bentuk ganti rugi tersebut
bukan semata-mata diberikan untuk perlindunagn korban. Oleh karena itu perlu
ada perhatian dari pembuat UU tentang pemberian perlindungan korban kejahatan
(kekerasan) secara langsung.Pelindungan ini sangat diperlukan bagi korban
kekerasan yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik ekonomi maupun
fisik, sementara korban tidak mampu.
Seperti
dikemukakan di atas, meski kedua UU tersebut sudah menetapkan berbagai bentuk
perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk perlindungan yang bersifat
langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku kekerasan belum nampak secara
jelas. Oleh karenanya perlu ditetapkan model pemberian perlindungan anak korban
kekerasan baik dalam UU Perlindungan Anak secara jelas dan tegas , sehingga
dalam kehidupan selanjutnya anak koban kekerasan benar-benar mendapat jaminan hukum
yang jelas.
3.7. Solusi Mencegah Terjadinya Kekerasan pada Anak
Agar anak terhindar dari bentuk
kekerasan seperti diatas perlu adanya pengawasan dari orang tua, dan perlu
diadakannya langkah-langkah sebagai berikut:
· Jangan sering mengabaikan anak, karena
sebagian dari terjadinya kekerasan terhadap anak adalah kurangnya perhatian
terhadap anak. Namun hal ini berbeda dengan memanjakan anak.
· Tanamkan sejak dini pendidikan agama
pada anak. Agama mengajarkan moral pada anak agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan
agar anak tersebut tidak menjadi pelaku kekerasn itu sendiri.
· Sesekali bicaralah secara terbuka
pada anak dan berikan dorongan pada anak agar bicara apa adanya/berterus
terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal anaknya dengan baik
dan memberikan nasihat apa yang perlu dilakukan terhadp anak, karena banyak
sekali kekerasan pada anak terutama pelecehan seksual yang terlambat diungkap.
· Ajarkan kepada anak untuk bersikap
waspada seperti jangan terima ajakan orang yang kurang dikenal dan lain-lain.
· Sebaiknya orang tua juga bersikap
sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang anak tetaplah seorang anak yang
masih perlu banyak belajar tentang kehidupan dan karena kurangnya kesabaran
orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya
sendirI
BAB IV
PENUTUP
1. Simpulan
Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan
perlindungan anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 maka semua pihak
mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan mempertahankan hak-hak anak.
Pemberlakuan Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan adanya pemberian
tindak pidana bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan
tindakan yang melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan bahwa
semua anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan perlindungan yang sama
pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi ras, etnis, agama, suku dsb. Anak
yang menderita cacat baik fisk maupun mental juga memiliki hak yang sama dan
wajib dilindungi seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb.
Undang-undang No.23 tahun 2002 juga
menjelaskan mengenai hak asuh anak yang terkait dengan pengalihan hak asuh
anak, perwalian yang diperlukan karena ketidakmampuan orang tua berhubungan
dengan hukum, pengangkatan anak yang sangat memperhatikan kepentingan anak,
serta penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan,
sosial dan perlindungan khusus.
2. Saran
Undang-undang ini telah dibuat
dengan baik dan memperhatikan atau peduli terhadap hak-hak anak namun pemerintah
kurang mensosialisasikan dan merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah
dan masyarakat kurang berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak
masih dalam pengawasan dan pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum
menjalankan tanggung jawab seperti yang telah tercatum diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Hadisuprapto,
Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia
Joni,
Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti
Sutanto,
Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum Acara Peradilan Anak”,
Wadong,
Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000
Rani,
(5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “ ,
Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan Dan
Pengembangan
Hukum Pidana,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Undang-undang terdiri atas:
KUHP
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak
0 Comments